Sabtu, 04 Desember 2010

Klise Sains Islam; Kebangkitan dan Kemunduran

Perkembangan ilmu pengetahuan tidak penah lepas dari aspek kesejarahan yang melingkupinya. Sejarah masa lampau menjadi tolok ukur dan masa depan menjadi kerangka perspektif dan prediktif yang mengkondisikan bangunan dan fakta masa kini. Dalam dunia makrokosmik masa depan dapat diprediksi dengan tepat bagaimana fakta dan kecanggihan masa sekarang itu dikonstruksi. Dari zaman klasik sampai zaman modern, bahkan era postmodern yang memunculkan berbagai perdebatan sengit antara Barat dan Timur, ‘akal’ dan ‘hati’ seolah mengulang rekayasa apologetik sejarah silam. Tidak adanya standar ideal target pencapaian ilmu pengetahuan menjadikan para cendekiawan dan ilmuwan kehilangan arah merajut bangkitnya ilmu pengetahuan yang begitu melesat, ilmu pengetahuan pun kini dilanda krisis multi dimensi.

Ilmu pengetahuan dalam kebudayaan Islam sejak abad 6 M misalnya, sebagai cikal bakal kebangkitan ilmu pengetahuan, pasca cahaya obor ilmu dan filsafat Yunani di Athena dan Alexandria padam di tangan Kekaisaran Romawi, tepatnya masa Kaisar Romawi Timur [Justinian] pada tahun 529 M, bahkan menjadi kiblat peradaban [pada abad pertengahan] bagi kebudayaan Barat, kini mengalami kemerosotan yang drastis hampir 1800 mencapai titik nadir kehidupannya.

Figur Ilmuwan Muslim tenggelam bersama karyanya seperti Alkindi sampai Ibnu Khaldun [750–1400 M] sebagai embrio ilmuwan dan pemikir Muslim sepanjang sejarah, bahkan menjadi era pencerahan [enlightment] dunia sebelum bangkitnya kembali peradaban Barat dengan gerakan renaissance [lahirnya kembali] yang memuncak pada zaman aufklarung-nya. Imperium pertama, ± 7 abad manggungnya Daulat Muawiyah dan Abbasiyah serta Fathimiyah yang berusaha menyingkirkan ahl-Bait [sumber ilmu pengetahuan dan harta karun wahyu ilahi] dengan menjajakan ilmu Yunani, Romawi, dan Persia, sehingga menghasilkan ilmuwan di berbagai bidang, menjadi faktor penting bangkitnya peradaban Islam. Pada masa kekhalifahan Abbasiyah Islam mengalami puncak kejayaan atau zaman keemasan Islam (The Golden Age of Islam); terutama Al-Mansyur [khalifah Abbasiyah kedua, 754-775 M], kemudian Harun al-Rasyd [khalifah Abbasiyah kelima, 786-809 M], dilanjutkan Al-Makmun [khalifah Abbasiyah ketujuh, 800-900 M] yang memberikan sumbangan luar biasa terhadap ilmu pengetahuan dengan didirikannya perpustakaan Bayt al-Hikmah (House of Wisdom).

Sebagai catatan penting, terungkap dalam Risalah ensiklopedi George Sarton mengenai sejarah sains, yang dianggap sebagai karya definitif tentang pokok permasalahan sains abad pertengahan sebagai zaman keemasan Islam:

    “Sejak paruh kedua abad kedelapan hingga akhir abad kesebelas bahasa Arab merupakan satu-satunya bahasa ilmiah, satu-satunya bahasa progresif yang dimiliki ummat manussia…. Disini kiranya cukup menyebtukan beberapa nama besar yang tidak mempunyai imbangan kontemporer di Barat: Jabir ibn Hayyan, Alkindi, Al Khawarizmi, Al Farghani, Al Razi, Tsabit ibn Qurra, al Battani, Hunain ibn Ishaq, Al Farabi, Ibn Sinan, Al Mas’udi, Al Thabari, Abul Wafa’, Aliu ibn ‘Abbas, Abdul Qassim, Ibn Al Jazzar, Al Biruni, Ibn Sina, Ibn Yunus, Al Karkhi, Ibn  Al Haytsam, ‘Ali ibn ‘Isa, Al Ghazali, Al Zarqali, Omar Khayyam!… Apabila seseorang memberi tahu anda bahwa Abad Pertengahan steril secara ilmiah, untuk mereka kutiplah orang-orang ini, yang semuanya bermunculan dalam periode yang relatif singkat, antara tahun 750 dan 1100. (George Sarton dalam Pervez Hoodboy, 1997:110)

Banyak faktor yang menjadikan Islam mencapai kejayaan pada masa tersebut, sebagaimana analisis yang diungkapkan Osman Bakar (1994:253) bahwa faktor-faktor utama yang menentukan kebangkitan dan kegemilangan Islam selama zaman keemasan tersebut di antaranya: 1) Peran kesadaran religius sebagai daya dorong untuk menuntut sains dan teknologi; 2) Ketaatan pada syariah mengilhami studi atas berbagai ilmu; 3) Kelahiran dan kebangkitan gerakan penerjemahan besar-besaran yang bertahan selama beberapa abad; 4) Suburnya filsafat yang ditujukan pada pengajaran, kemajuan dan pengembangan ilmu; 5) Luasnya santunan bagi aktivitas sains dan teknologi oleh para penguasa dan wazir; 6) Adanya iklim intelektual yang sehat sebagaimana yang diilustrasikan oleh fakta bahwa para sarjanan dari berbagai madzhab pemikiran (hukum, teologi, filosofis, dan spiritual) melangsungkan debat intelektual secara jujur dan rasional tetapi dalam semangat saling menghormati. Perdebatan Ilmiah antara Ibn Sina dan Al Biruni pada abad kesepuluh merupakan salah satu yang paling luar biasa dalam sejarah intelektual Islam; 7) Peran penting yang dimainkan oleh lembaga-lembaga pendidikan dan ilmiah, terutama dengan adanya universitas-universitas; 8] Keseimbangan yang dicapai oleh perspektif-perspektif intelektual Islam yang utama.

Sebaliknya, faktor utama yang bertanggungjawab atas kemunduran sains dan teknologi Islam dapat dikenal dari kekuatan internal dan eksternal yang menyebabkan hilangnya faktor-faktor positif di atas secara perlahan. Contoh kekuatan internal dan eksternal seperti korupsi, perselisihan internal, munculnya legalisme dan sektarianisme agama, pengabaian dimensi batin pengetahuan dalam agama, dan penghancuran tak terkatakan di tangan kaum mongol. Kekuatan terakhir ini yakni serangan Mongol yang dipimpin Hulagu Khan, secara tragis memporakporandakan kota Baghdad pusat peradaban Muslim. Bukan hanya istana dan gedung-gedung kerajaan saja. Namun juga rumah, penduduk, masjid, serta madrasah, universitas, dan yang memilukan ketika perpustakaan luluh lantah, buku-buku di bakar, di buang ke sungai tigris dan euprat, bahkan sebelumnya terjadi translasi besar-besaran dari Bahasa Arab ke bahasa Latin, Yahudi dan Catalan. Kebudayaan Islam mulai kehilangan sumber genuine, semakin lesu dan tidak produktif, kejumudan dan kehilangan pemikir brilian mulai nampak, Islam pun berangsur-angsur semakin terbelakang. Kemunduran tersebut di ikuti oleh sikap ummat Muslim yang menambah jurang keterpurukan, diantaranya:

Pertama, sikap ummat Islam dalam menghadapi perubahan-perubahan yang selalu berpangku tangan dan menyandarkan diri pada beban sejarah masa lalu yang sudah lapuk.

    Islam selalu merujuk masa lalu, seolah masa kini, dan masa depan tidak menyediakan jawaban yang memuaskan dengan kata lain Islam selalu berlindung di balik “tempurung” tradisi. …Islam gagal merespon perubahan dengan berangkat dari ajaran Islam yang substantif dan pengalaman kebudayaan Islam itu sendiri. Tiadanya kerangka yang memungkinkan ummat Islam melakukan kritik internal antara lain disebabkan oleh mandulnya fungsi ijtihad dan penalaran kritis dalam ranah pemikiran (Ziauddin Sardar, 2005:7-8).

Kedua, kelemahannya dalam mengungkap ‘misteri’ ilmu pengetahuan [sains] secara analitis serta mengabaikan kecanggihan perkembangan teknologi yang melesat, Abdus Salam dalam bukunya Pervez Hodbhoy (1997:36), Islam and Science, Religious Orthodoxy and the Battle for Rationality, ungkapkan bahwa dewasa ini, dari semua peradaban yang ada di permukaan planet bumi ini, sains merupakan perwujudan-peradaban yang paling lemah di dunia Muslim. Bahaya dari kelemahan ini tidak pernah dilebih-lebihkan, karena perjuangan mulia suatu masyarakat demi kelangsungan hidupnya tergantung secara langsung pada kekuatan sains dan teknologi dalam situasi masa sekarang.

Ketiga, sikap ummat Muslim yang selalu apatis dan tidak pernah beradaptasi dengan produk-produk barat dan kemajuan sains serta teknologi yang dianggapnya sekuler. Fakta bahwa sains dan teknologi dalam bentuknya yang sekarang tidak berkembang dalam Islam bukan merupakan suatu pertanda dekadensi, sebagaimana sering dikatakan, tetapi merupakan penolakan Islam yang menganggap setiap bentuk pengetahuan sebagai benar-benar sekuler, ungkap  Seyyed Hossein Nasr (Pervez Hodbhoy, 1997:63)

Secara umum, kemerosotan agama disebabkan kurang tanggapnya sikap agama dalam menghadapi perkembangan sains dan teknologi. Paul Davies, (2006:14) ungkapkan bahwa yang lebih relevan dengan kemerosotan agama ialah fakta bahwa, sains melalui teknologi, telah mengubah kehidupan kita begitu radikal sehingga agama-agama tradisional mungkin terlihat tidak memiliki sikap cekatan yang diperlukan untuk memberikan bantuan yang nyata dalam mengatasi persoalan-persoalan personal dan sosial kontemporer

Tidak ada komentar:

Posting Komentar